Mengenal Karakter Anak Usia Dini Lebih Dekat
Traveloffline.us - Mengenal Karakter Anak Usia Dini Lebih Dekat. Anak adalah sebuah anugerah terindah dari Tuhan untuk dua insan yang menyandang status sebagai “Orangtua”. Ia adalah satu sosok yang paling ditunggu-tunggu kehadirannya sejak dalam kandungan hingga lahir ke dunia.
Orangtua mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk merawat serta mendidik anak sejak usia dini yaitu berusia 0-6 tahun, agar mampu bertumbuh dan berkembang secara optimal.
Pada masa usia emas atau biasa dikenal dengan istilah “Golden Age”. Oleh sebab itu, mari kita kenali lebih dekat karakter mereka yang disebut sebagai “Anak Usia Dini”.
Pengertian Anak Usia Dini
Sebelum mengenal karakter anak usia dini lebih dekat, ada yang perlu kita ketahui terlebih dahulu yaitu siapa sih sosok yang disebut “Anak Usia Dini”?
Sebenarnya, sosok seorang anak berusia dibawah 6 tahun itu sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Tentu saja kita semua pernah menjadi anak-anak sebelum tumbuh menjadi remaja, dewasa, dan bahkan lansia.
Jika berbicara tentang anak usia dini, maka secara umum yang terbayang dalam benak kita adalah anak-anak yang sekolah di Taman Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain (KB), Taman Kanak-kanak (TK), atau Raudhatul Athfal (RA).
Jenjang pendidikan tersebut tidak hanya tempat untuk bermain atau tepuk tangan sambil bernyanyi saja, tetapi merupakan salah satu tempat untuk membantu menstimulasi aspek perkembangan anak seperti aspek moral dan agama, fisik-motorik, sosial emosional, kognitif, bahasa, dan seni. Seluruh aspek tersebut dapat dikembangkan melalui pendidikan di rumah maupun di sekolah.
Orangtua adalah sekolah atau madrasah pertama bagi anak, maka jadilah guru terbaik yang terus belajar demi tumbuh-kembang anak yang sempurna.
Berbeda dengan sekolah yang merupakan madrasah kedua bagi anak, tugas guru hanya membantu mengoptimalkan aspek perkembangan anak yang terlihat belum sempurna.
Siapakah Anak Usia Dini itu?
Anak usia dini adalah seorang manusia mini yang Tuhan titipkan secara fitrah berusia 0-6 tahun. Anak usia dini dikenal sebagai manusia mini yang spesial, karena sangat membutuhkan aksi dari sebuah peranan orangtua dalam pendidikan anak usia dini.
Untuk membantu anak tersebut melewati fase-fase pertumbuhan dan perkembangan baik secara fisik maupun psikis seorang anak.
Anak Usia Dini Adalah Pengamat Yang Teratur
Sebelum anak-anak menjadi makhluk peniru, maka ia akan menjadi makhluk pengamat terlebih dahulu. Pengamatannya tentu tidak sama dengan kacamata orang dewasa khususnya orangtua, karena ia mampu melihat dari berbagai macam sudut pandang.
Terkadang banyak orangtua yang kurang memahami apa yang sedang diamati oleh sang anak dan bahkan menganggap sesuatu yang sedang diamati tersebut tidaklah penting.
Padahal sesungguhnya anak sedang belajar mengeksplor pengetahuan melalui pengamatannya, biasanya anak usia dini lebih tertarik dan fokus mengamati benda-benda terkecil yang ada dihadapannya.
Misalnya anak sedang mengamati semut yang berjalan di atas bebatuan. Ia tetap mengamati semut tersebut berjalan kemana, bertemu siapa, apa yang dimakan oleh semut, dan masih banyak lagi rasa penasaran yang ingin segera terjawab.
Apabila ada rasa ingin tahu yang belum terjawab, biasanya sang anak akan bertanya dengan orangtua atau orang dewasa yang ada didekatnya untuk menjawab rasa ingin tahunya tersebut.
Pada saat anak berada pada fase tersebut, hal yang perlu orangtua lakukan adalah mendampingi dan memfasilitasi hal-hal yang dibutuhkan anak untuk menjadi pengamat lebih lanjut. Ketika anak mengamati sebuah benda, maka ia akan bertanya secara kritis tentang hakikat benda tersebut secara mendetil.
Gunakanlah kesempatan tersebut untuk membantu anak dalam menjelajahi pengetahuannya. Selain itu, orangtua juga bisa merespon cara berpikir kritis seorang anak usia dini dengan melakukan demonstrasi pada sebuah kegiatan yang ditata secara rinci dan bertahap.
Kegiatan tersebut sebaiknya dirancang sedemikian rupa dengan melibatkan lingkungan yang dekat dengan si anak dan mampu memanfaatkan benda-benda konkret yang bisa langsung dilihat, disentuh, dan dirasakan oleh anak. Dengan demikian, anak merasakan secara langsung pengalaman yang diberikan oleh orangtua.
Anak Usia Dini Merupakan Seorang Makhluk Peniru
Sebagai orangtua, sudah tentu akan merasa senang ketika mendengar anak yang berusia 10 atau 12 bulan mulai mampu menyebut kata, seperti “mama”, “papa”, kakak, makan, dan lain-lain. Hal ini tentu saja karena anak sering mendengar ucapan orangtua atau lingkungan sekitar ketika sedang berinteraksi dengan anak.
Semakin banyak kata-kata yang diperdengarkan pada anak, maka semakin kaya kosa kata yang tersimpan dalam ingatan sang anak. Fase ini sangat penting, karena anak akan belajar meniru apa saja yang dilakukan oleh orang dewasa.
Tiruan tersebut bisa berupa ucapan ataupun tindakan yang mengarah pada hal-hal yang bersifat positif maupun negatif.
Sebagai orangtua sudah pasti ingin menjadi role model terbaik untuk anak. Fase ini adalah fase krusial dimana pentingya pendidikan anak usia dini untuk orangtua dalam memberikan teladan yang baik sejak dini. Tebarkan energi positif pada anak, sehingga anak juga dapat merasakan aura positif tersebut.
Hal sederhana yang bisa dilakukan orangtua yaitu seperti memberi sapaan dan senyuman hangat pada anak saat berinteraksi, maka sang anak pasti meresponnya dengan riang gembira.
Coba renungkan sejenak apabila yang ditebarkan pada anak adalah energi negatif, maka anak juga akan meresponnya secara negatif.
Oleh karena itu, orangtua harus selalu waspada ketika berbicara dan bertindak di depan si buah hati, karena mereka selalu melihat, mendengar, dan merekam apa saja kebiasaan-kebiasaan yang orangtua lakukan setiap hari.
Dalam hal ini, orangtua harus mampu menjadi role model terbaik untuk anak. Sekecil apapun ucapan atau tindakan yang orangtua lakukan di depan anak, ia akan menirunya dengan sangat jelas seperti mesin foto kopi.
Anak Usia Dini ialah Pemilik Sensitive Period
Sensitive period (masa peka) merupakan sebuah fase di mana pada masa ini, setiap anak usia dini mulai menunjukkan ketertarikannya terhadap sesuatu hal berdasarkan jenjang usia.
Pada fase ini, orangtua tidak perlu cemas apalagi sampai membanding-bandingkan tumbuh-kembang anak sendiri dengan anak kerabat, ataupun anak tetangga.
Fitrahnya seorang anak tumbuh dengan keunikannya masing-masing, tidak ada yang sama persis dari segi pertumbuhan dan perkembangan yang dialaminya.
Tugas orangtua adalah mengenali lebih lanjut tentang “sensitive period” yang dimiliki oleh anak usia dini. Berpijak dari "Teori Montessori" penemuan Maria Montessori, ia adalah seorang filsuf pendidikan dari Italia mengemukakan bahwa ada enam “sensitive period” yang dimiliki oleh anak usia dini sebagai berikut :
1. Sensitif pada keteraturan
Pada fase ini, anak sedang belajar mengenal sesuatu secara konsistensi. Ini adalah salah satu bentuk adaptasi anak pada lingkungan yang dimulai sejak tahun pertama kehidupannya.
Beri kesempatan pada anak untuk terbiasa terhadap hal-hal yang biasa ia lihat, dengar, dan rasakan.
Saat anak mulai belajar tentang keteraturan, hal ini berarti bahwa harus ada sesuatu hal yang bersifat konsisten (tidak berubah-ubah).
Misalnya tempat penyimpanan sepatu, baju, mainan, dan lain sebagainya. Dampingi anak sampai ia paham bahwa seiring berjalannya waktu, pasti akan ada hal-hal yang berubah dalam kehidupannya.
2. Sensitif pada bahasa
Sensitivitas pada bahasa biasanya dimulai sejak dalam kandungan hingga bayi lahir ke dunia. Sejak dalam kandungan, anak sudah bisa mendengar suara-suara yang berasal dari orangtua ataupun lingkungannya.
Oleh karena sedini mungkin mengajak anak mengobrol setiap hari, tentu ini akan membantu anak dalam mengingat dan menguasai kosa kata.
Dari kosa kata yang ia miliki, anak akan belajar menyambung kata demi kata, dan merangkainya menjadi sebuah kalimat untuk diperbincangkan bersama orangtua atau lingkungannya.
Peran orangtua saat anak sedang sensitif pada bahasa adalah dengan merespon apapun obrolan dari sang anak.
Biasanya anak-anak yang berusia 2 tahun mulai kritis dan bertanya mengenai hal apa saja yang ia temui secara mendetil.
Orangtua bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari sang anak dengan menggunakan kalimat-kalimat yang mudah dipahami oleh anak sembari memberikan contoh-contoh konkret.
Fase ini sangat penting, karena pemberian stimulus yang tepat dan dilakukan secara rutin akan membantu anak memiliki kecerdasan linguistik di masa yang akan datang.
Sebaliknya apabila orangtua kurang mengajak anak mengobrol sejak dini, maka dampak buruk yang terjadi adalah anak akan mengalami keterlambatan dalam berbicara atau biasa dikenal dengan istilah “speech delay”.
3. Sensitif pada berjalan kaki
Hal yang paling ditunggu-tunggu oleh orangtua adalah ketika anak mulai ingin berjalan kaki. Sensitivitas ini biasanya muncul pada anak yang berusia 10-12 bulan atau bahkan lebih, tergantung pada cepatnya pertumbuhan dan perkembangan sang anak.
Sebelum anak mulai mampu berjalan, biasanya ia akan latihan belajar duduk, latihan merangkak, hingga latihan berdiri.
Pada fase ini, sebaiknya orangtua memberikan semangat, dukungan dan fasilitas pada anak agar ia mau bergerak. Rancanglah kegiatan bermain sederhana yang menyenangkan agar dapat memicu anak untuk bergerak sesering mungkin.
Misalnya ketika anak sedang asyik latihan merangkak, letakkan beberapa benda yang berwarna (pilihan benda: bebas dan aman) di depan sang anak dengan jarak pandang minimal 1 meter.
Kegiatan bermain seperti ini dapat memancing anak untuk aktif bergerak meraih benda-benda tersebut, hal ini juga membantu anak dalam mempersiapkan otot-otot kakinya untuk berdiri.
Saat otot-otot kakinya mulai kuat, anak akan belajar berdiri dengan memegang pundak orang dewasa atau menopang pada benda-benda yang ada didekatnya seperti dinding, meja, kursi, dan lain-lain.
anak mulai ingin berjalan
Ketika anak terlihat mampu dan kuat untuk berdiri sendiri, tuntun ia untuk belajar berjalan selangkah demi selangkah terlebih dahulu dengan memberikan bantuan yaitu memegang ke dua telapak tangan anak.
Latihan seperti ini perlu dilakukan secara berulang-ulang setiap hari untuk memeriksa kekuatan pada otot kakinya.
Dalam hal ini, orangtua juga perlu mengamati kesiapan anak ketika akan belajar berjalan. Lakukan secara perlahan tanpa paksaan dan ajarkan anak berjalan dengan cara yang menyenangkan.
Coba perhatikan saat anak mulai bisa berjalan, ia tidak akan duduk diam dan akan melakukannya secara berulang-ulang. Pada dasarnya, anak-anak sedang belajar mengatur gerakan kaki agar bisa berjalan secara seimbang.
Ketika sang anak melihat orang dewasa yang berjalan kaki bahkan berlari, membuat ia penasaran dan termotivasi ingin berjalan seperti orang dewasa.
Pada fase ini, orangtua bisa mengajak anak berjalan-jalan ke suatu tempat yang luas seperti menjelajahi taman bunga, kebun binatang, tempat berolahraga, dan lain-lain. Tujuannya adalah agar anak bisa berjalan kaki secara bebas sesuai kecepatan yang diinginkannya.
4. Sensitif pada aspek kehidupan sosial
Layaknya kelompok orang dewasa yang berinteraksi dengan kehidupan sosial, nyatanya anak usia dini juga meniru kebiasaan-kebiasaan orang dewasa.
Coba perhatikan sikap sang anak saat bertemu dengan teman sebayanya, ada rasa ingin bermain bersama dengan sekelompok anak-anak meskipun mereka tergolong masih mempunyai sifat egosentris (ke-aku-an).
Hal tersebut tergolong wajar dan tidak menghalangi mereka untuk berhenti berinteraksi dengan teman-teman sebayanya, karena itu merupakan proses adaptasi anak terhadap lingkungan sosial disekitarnya.
Proses adaptasi tersebut pada akhirnya memberikan pelajaran penting pada anak bahwa dalam kelompok sosial harus saling menyayangi.
anak pada aspek kehidupan sosial
Kita sering menemukan anak-anak yang sangat suka berbagi mainan atau makanan dengan temannya, begitu juga sebaliknya.
Tidak perlu khawatir saat anak belum siap berbagi mainan atau makanan dengan temannya, karena ia belum siap menerima keberadaan orang lain dalam hidupnya.
Orangtua bisa memberikan contoh konkret teladan yang baik ketika berinteraksi langsung dengan lingkungan sosial di depan sang anak, sehingga tujuan pendidikan anak usia dini bisa tercapai secara maksimal.
Contoh yang dimaksud adalah seperti saat memberikan bantuan pada orang lain. Dengan demikian, anak termotivasi dan akan meniru kebiasaan baik yang orangtua lakukan.
5. Sensitif pada benda kecil
Fitrahnya anak-anak tertarik dengan benda-benda kecil yang ada disekitarnya, tidak heran ketika menemukan anak-anak yang berusia 3 bulan suka memasukkan benda kecil apa saja ke dalam mulutnya termasuk jari-jari tangannya sendiri.
Saat anak sudah mampu berjalan, ia akan mencari benda-benda kecil, melihatnya secara detil untuk menjelajahi pengetahuannya.
Berbeda dengan orang dewasa ketika berjalan ke taman bunga, ia akan terfokus pada keindahan bunga-bunga yang ada di taman tersebut.
Menariknya, anak usia dini justru terfokus pada semut, rumput, daun, pasir, dan bebatuan yang ada di taman tersebut. Hal ini membuktikan bahwa sudut pandang anak usia dini dengan orang dewasa juga berbeda.
6. Sensitif pada belajar melalui indra
Jika ditelusuri secara mendetil, pada dasarnya sensitivitas pada indra sudah mulai muncul sejak bayi membuka mata dan melihat dunia.
Secara bersamaan melalui indra penglihatan dan pendengaran, anak juga mulai belajar mengenal wajah dan suara orang dewasa yang merawatnya.
Saat anak diberikan ASI oleh ibunya, ia mulai mengenal rasa ASI melalui indra pengecapnya. Seiring proses tumbuh-kembang yang dialami sang anak, seluruh indra saling berperan aktif.
Tugas orangtua adalah membantu menstimulus indra anak usia dini yang belum berkembang secara sempurna.
Anak Usia Dini Disebut Sebagai Pribadi Yang Aktif
Anak adalah individu yang suka bergerak. Setiap anak membutuhkan gerak untuk mengeksplorasi benda-benda yang ada di sekitarnya. Berikan kesempatan pada anak untuk aktif melakukan aktivitas yang ia senangi.
Semakin banyak aktivitas yang anak lakukan, semakin besar pengalaman yang ia temukan. Tugas orangtua mendampingi dan memfasilitasi apa saja yang menjadi kebutuhan anak, seperti merancang jadwal dan aktivitas yang bervariasi setiap hari.
Anak Usia Dini Sebagai Pribadi Yang Aktif
Aktivitas tersebut bisa dilakukan secara sederhana di rumah. Misalnya mengajak anak berkegiatan bersama seperti melipat pakaian, mengadon kue, mengupas kulit telur yang sudah direbus, membuat jus buah, menanam bunga, dan sebagainya.
Anak Usia Dini ialah Pribadi Yang Belajar Mengenal Emosi
Kita pasti pernah menemukan anak yang awalnya terlihat asyik bermain tiba-tiba teriak histeris sendirian. Ternyata saat ditelusuri sang anak tersebut menangis karena saat ia berhasil membangun menara dari lego dan tanpa disadari tiba-tiba lego itu runtuh dengan sendirinya.
Sebagai orangtua tidak perlu bingung atau malah mengabaikan perasaan sedih atau marah yang ditunjukkan oleh anak, karena sebenarnya sang anak sedang belajar mengenal emosi.
Galilah perasaan sang anak dan berikan kesempatan padanya untuk menangis. Berilah pelukan dan kalimat-kalaimat yang menenangkan hatinya, setelah itu tawarkan bantuan pada sang anak untuk membangun menara yang telah runtuh secara bersama-sama.
Anak Usia Dini Dikenal Sebagai Pemilik Kreativitas
Setiap anak mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi. Anak-anak mampu berkarya selama orangtua tidak membatasi ruang gerak. Uniknya setiap anak mampu berkreatifitas dengan caranya sendiri tanpa harus meniru kreativitas orang dewasa.
Bahkan tanpa harus di fasilitasi secara khusus, anak juga mampu mencari benda-benda yang akan dijadikan sebagai bahan untuk berkreatifitas.
Sebagai orangtua yang mendukung anak untuk mengasah kreativitas yang dimiliki, selain memfasilitasi juga harus memantau proses dan hasil yang dicapai oleh anak guna menilai perkembangan karyanya. Kreativitas yang semakin diasah dan ditekuni merupakan pondasi dalam mengembangkan bakat anak sejak dini.
Anak Usia Dini Adalah Jiwa Yang Suka Bermain
Bermain adalah kegiatan yang paling disenangi oleh anak usia dini. Bermain bukanlah hal yang sia-sia, karena bermain adalah sesuatu yang menyenangkan dan dapat mendatangkan manfaat, serta pengalaman bagi anak.
Bermain sifatnya fleksible yaitu bisa dilakukan secara individu, bersama orangtua atau teman (lebih muda, sebaya, dan lebih tua).
Orangtua tidak perlu merasa khawatir apabila anak-anak selalu ingin bermain. Sebelum bermain, informasikan pada anak tentang batasan-batasan dalam bermain dan berikan waktu yang cukup untuk bermain.
Dengan adanya bermain sebenarnya anak sedang belajar membentuk pengetahuan, mengelola emosi, memperluas kosa kata, mengaktifkan anggota tubuh dan mengasah kreativitasnya.
Post a Comment for "Mengenal Karakter Anak Usia Dini Lebih Dekat"